Rabu, 26 September 2012

Undang-undang Tentang Serikat Pekerja no 21 th 2000

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 21 TAHUN 2000
TENTANG
SERIKAT PEKERJA / SERIKAT BURUH
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBL1K INDONESIA,
Menimbang :
a. bahwa kemerdekaan berserikat, berkumpul, mengeluarkan pikiran baik secara lisan maupun secara tulisan,
memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan, serta mempunyai kedudukan yang sama
dalam hukum merupakan hak setiap warga negara;
b. bahwa dalam rangka mewujudkan kemerdekaan berserikat, pekerja/buruh berhak membentuk dan
mengembangkan serikat pekerja/serikat buruh yang bebas, terbuka; mandiri, demokratis, dan
bertanggungjawab;
c. bahwa serikat pekerja/serikat buruh merupakan sarana untuk memperjuangkan, melindungi, dan membela
kepentingan dan kesejahteraan pekerja/buruh beserta keluarganya, serta mewujudkan hubungan industrial yang
harmonis, dinamis, dan berkeadilan;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana tersebut pada huruf a, b, dan c perlu ditetapkan Undang-undang
tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh;
Mengingat :
1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (2), Pasal 27, dan Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945 sebagaimana telah
diubah dengan Perubahan Pertama Tahun 1999;
2. Undang-undang Nomor 18 Tahun 1956 tentang Persetujuan Konvensi Organisasi Perburuhan Internasional
Nomor 98 mengenai Berlakunya Dasar-Dasar daripada Hak untuk Berorganisasi dan untuk Berunding Bersama
(Lembaran Negara Tahun 1956 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Nomor 1050);
3. Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor
165, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3886);
Dengan Persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
UNDANG-UNDANG TENTANG SERIKAT PEKERJA/SERIKAT BURUH.
BABI
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan:
1. Serikat pekerja/serikat buruh adalah organisasi yang dibentuk dari, oleh, dan untuk pekerja/buruh baik di
perusahaan maupun di luar perusahaan, yang bersifat bebas, terbuka, mandiri, demokratis, dan bertanggung
jawab guna memperjuangkan, membela serta melindungi hak dan kepentingan pekerja/buruh serta
meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya;
2. Serikat pekerja/serikat buruh di perusahaan adalah serikat pekerja/serikat buruh yang didirikan oleh para
pekerja/buruh di satu perusahaan atau di beberapa perusahaan;
3. Serikat pekerja/serikat buruh di luar perusahaan adalah serikat pekerja/serikat buruh yang didirikan oleh para
pekerja/buruh yang tidak bekerja di perusahaan;
4. Federasi serikat pekerja/serikat buruh adalah gabungan serikat pekerja/serikat buruh;
5. Konfederasi serikat pekerja/serikat buruh adalah gabungan federasi serikat pekerja/serikat buruh;
6. Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain;
7. Pengusaha adalah :
a. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan suatu perusahaan milik sendiri;
b. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri sendiri menjalankan perusahaan
bukan miliknya;
c. orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di Indonesia mewakili perusahaan
sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b yang berkedudukan di luar wilayah Indonesia;
8. Perusahaan adalah setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang perseorangan,
persekutuan, atau badan hukum, baik milik swasta rnaupun milik negara yang mempekerjakan pekerja/ buruh
dengan memberi upah atau imbalan dalam bentuk lain;
9. Perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh adalah
perselisihan antara serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh, dan
serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh lain, karena tidak adanya
persesuaian paham mengenai keanggotaan serta pelaksanaan hak dan kewajiban keserikatpekerjaan;
10. Menteri adalah menteri yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan;
BAB II
ASAS, SIFAT, DAN TUJUAN
Pasal 2
(1) Serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh menerima Pancasila sebagai
dasar negara dan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia.
(2) Serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh mempunyai asas yang tidak
bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Pasal 3
Serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh mempunyai sifat bebas, terbuka,
mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab.
Pasal 4
(1) Serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh bertujuan memberikan
perlindungan, pembelaan hak dan kepentingan, serta meningkatkan kesejahteraan yang layak bagi
pekerja/buruh dan keluarganya.
(2) Untuk mencapai tujuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan
konfederasi serikat pekerja/serikat buruh mempunyai fungsi :
a. sebagai pihak dalam pembuatan perjanjian kerja bersama dan penyelesaian perselisihan industrial;
b. sebagai wakil pekerja/buruh dalam lembaga kerja sama di bidang ketenagakerjaan sesuai dengan
tingkatannya;
c. sebagai sarana menciptakan hubungan industrial yang harmonis, dinamis, dan berkeadilan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku;
d. sebagai sarana penyalur aspirasi dalam memperjuangkan hak dan kepentingan anggotanya;
e. sebagai perencana, pelaksana, dan penanggung jawab pemogokan pekerja/buruh sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku;
f. sebagai wakil pekerja/buruh dalam memperjuangkan kepemilikan saham di perusahaan.
BAB III
PEMBENTUKAN
Pasal 5
(1) Setiap pekerja/buruh berhak membentuk dan menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh.
(2) Serikat pekerja/serikat buruh dibentuk oleh sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) orang pekerja/buruh.
Pasal 6
(1) Setiap pekerja/buruh berhak memb entuk dan menjadi anggota federasi serikat pekerja/serikat buruh.
(2) Federasi serikat pekerja/serikat buruh dibentuk oleh sekurang- kurangnya 5 (lima) serikat pekerja/serikat buruh.
Pasal 7
(1) Federasi serikat pekerja/serikat buruh berhak membentuk dan menjadi anggota konfederasi serikat
pekerja/serikat buruh.
(2) Konfederasi serikat pekerja/serikat buruh dibentuk oleh sekuranq-kurangnya 3 (tiga) federasi serikat
pekerja/serikat buruh.
Pasal 8
Perjenjangan organisasi serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh diatur
dalam anggaran dasar dan/atau anggaran rumah tangganya.
Pasal 9
Serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh dibentuk atas kehendak bebas
pekerja/buruh tanpa tekanan atau campur tangan pengusaha, pemerintah, partai politik, dan pihak manapun.
Pasal 10
Serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh dapat dibentuk berdasarkan
sektor usaha, jenis pekerjaan, atau bentuk lain sesuai dengan kehendak pekerja/buruh.
Pasal 11
(1) Setiap serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh harus memiliki
anggaran dasar dan anggaran rumah tangga.
(2) Anggaran dasar sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sekurang-kurangnya harus memuat :
a. nama dan lambang;
b. dasar negara, asas, dan tujuan;
c. tanggal pendirian;
d. tempat kedudukan;
e. keanggotaan dan kepengurusan;
f. sumber dan pertanggungjawaban keuangan; dan
g. ketentuan perubahan anggaran dasar dan/atau anggaran rumah tangga.
BAB IV
KEANGGOTAAN
Pasal 12
Serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh harus terbuka untuk menerima
anggota tanpa membedakan aliran politik, agama, suku bangsa, dan jenis kelamin.
Pasal 13
Keanggotaan serikat pekerja/serikat buruh federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh diatur dalam
anggaran dasar dan anggaran rumah tangganya.
Pasal 14
(1) Seorang pekerja/buruh tidak boleh menjadi anggota lebih dari satu serikat pekerja/serikat buruh di satu
perusahaan.
(2) Dalam hal seorang pekerja/buruh dalam satu perusahaan ternyata tercatat pada lebih dari satu serikat
pekerja/serikat buruh, yang bersangkutan harus menyatakan secara tertulis satu serikat pekerja/serikat buruh
yang dipilihnya.
Pasal 15
Pekerja/buruh yang menduduki jabatan tertentu di dalam satu perusahaan dan jabatan itu menimbulkan pertentangan
kepentingan antara pihak pengusaha dan pekerja/buruh, tidak boleh menjadi pengurus serikat pekerja/serikat buruh
di perusahaan yang bersangkutan.
Pasal 16
(1) Setiap serikat pekerja/serikat buruh hanya dapat menjadi anggota dari satu federasi serikat pekerja/serikat
buruh.
(2) Setiap federasi serikat pekerja/serikat buruh hanya dapat menjadi anggota dari satu konfederasi serikat
pekerja/serikat buruh.
Pasal 17
(1) Pekerja/buruh dapat berhenti sebagai anggota serikat pekerja/serikat buruh dengan pernyataan tertulis.
(2) Pekerja/buruh dapat diberhentikan dari serikat pekerja/serikat buruh sesuai dengan ketentuan anggaran dasar
dan/atau anggaran rumah tangga serikat pekerja/serikat buruh yang bersangkutan.
(3) Pekerja/buruh, baik sebagai pengurus maupun sebagai anggota serikat pekerja/serikat buruh yang berhenti atau
diberhentikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) tetap bertanggung jawab atas kewajiban yang
belum dipenuhinya terhadap serikat pekerja/serikat buruh.
BAB V
PEMBERITAHUAN DAN PENCATATAN
Pasal 18
(1) Serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh yang telah terbentuk
memberitahukan secara tertulis kepada instansi pemerintah yang bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan
setempat untuk dicatat.
(2) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dengan dilampiri:
a. daftar nama anggota pembentuk;
b. anggaran dasar dan anggaran rumah tangga;
c. susunan dan nama pengurus. "
Pasal 19
Nama dan lambang serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh yang akan
diberitahukan tidak boleh sama dengan nama dan lambang serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi
serikat pekerja/serikat buruh yang telah tercatat terlebih dahulu.
Pasal 20
(1) Instansi pemerintah, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1), wajib mencatat dan memberikan nomor
bukti pencatatan terhadap serikat pekerja/Serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh
yang telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 5 ayat (2), Pasal 6 ayat (2), Pasal 7
ayat (2), Pasal 11, Pasal 18 ayat (2), dan Pasal 19, selambat- lambatnya 21 (dua puluh satu) hari kerja terhitung
sejak tanggal diterima pemberitahuan.
(2) Instansi pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) dapat menangguhkan pencatatan dan
pemberian nomor bukti pencatatan dalam hal serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat
pekerja/serikat buruh belum memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 5 ayat (2), Pasal
6 ayat (2), Pasal 7 ayat .(2), Pasal 11, Pasal 18 ayat (2), dan Pasal 19.
(3) Penangguhan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), dan alasan-alasannya diberitahukan secara tertulis kepada
serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh yang bersangkutan
selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak tanggal diterima pemberitahuan.
Pasal 21
Dalam hal perubahan anggaran dasar dan/atau anggaran rumah tangga, pengurus serikat pekerja/serikat buruh,
federasi dan konfederasi serikat pekerja/Serikat buruh memberitahukan kepada instansi pemerintah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal perubahan anggaran dasar
dan/atau anggaran rumah tangga tersebut.
Pasal 22
(1) Instansi pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1), harus mencatat serikat pekerja/serikat
buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2, Pasal 5 ayat (2), Pasal 6 ayat (2), Pasal 7 ayat (2), Pasal 11, Pasal 18 ayat{2), dan Pasal 19 dalam
buku pencatatan dan memeliharanya dengan baik.
(2) Buku pencatatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), harus dapat dilihat setiap saat dan terbuka untuk
umum.
Pasal 23
Pengurus serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh yang telah mempunyai
nomor bukti pencatatan harus memberitahukan secara tertulis keberadaannya kepada mitra kerjanya sesuai dengan
tingkatannya.
Pasal 24
Ketentuan mengenai tata cara pencatatan diatur lebih lanjut dengan keputusan menteri.
BAB VI
HAK DAN KEWAJIBAN
Pasal 25
(1) Serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh yang telah mempunyai
nomor bukti pencatatan berhak:
a. membuat perjanjian kerja bersama dengan pengusaha;
b. mewakili pekerja/buruh dalam menyelesaikan perselisihan industrial
c. mewakili pekerja/buruh dalam lembaga ketenagakerjaan;
d. membentuk lembaga atau melakukan kegiatan yang berkaitan dengan usaha peningkatan kesejahteraan
pekerja/buruh;
e. melakukan kegiatan lainnya di bidang ketenagakerjaan yang tidak bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku
(2) Pelaksanaan hak-hak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan sesuai dengan peraturan perundangundangan
yang berlaku.
Pasal 26
Serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh dapat berafiliasi dan/atau
bekerja sama dengan serikat pekerja/serikat buruh internasional dan/atau organisasi internasional lainnya dengan
ketentuan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 27
Serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh yang telah mempunyai nomor
bukti pencatatan berkewajiban:
a. melindungi dan membela anggota dari pelanggaran hak-hak dan memperjuangkan kepentingannya;
b. memperjuangkan peningkatan kesejahteraan anggota dan keluarganya;
c. mempertanggungjawabkan kegiatan organisasi kepada anggotanya sesuai dengan anggaran dasar dan anggaran
rumah tangga.
BAB VII
PERLINDUNGAN HAK BERORGANISASI
Pasal 28
Siapapun dilarang menghalang-halangi atau memaksa pekerja/buruh untuk membentuk atau tidak membentuk,
menjadi pengurus atau tidak menjadi pengurus, menjadi anggota atau tidak menjadi anggota dan/atau menjalankan
atau tidak menjalankan kegiatan serikat pekerja/serikat buruh dengan cara:
a. melakukan pemutusan hubungan kerja, memberhentikan sementara, menurunkan jabatan, atau melakukan
mutasi;
b. tidak membayar atau mengurangi upah pekerja/buruh;
c. melakukan intimidasi dalam bentuk apapun;
d. melakukan kampanye anti pembentukan serikat pekerja/serikat buruh.
Pasal 29
(1) Pengusaha harus memberi kesempatan kepada pengurus dan/atau anggota serikat pekerja/serikat buruh untuk
menjalankan kegiatan serikat pekerja/serikat buruh dalam jam kerja yang disepakati oleh kedua belah pihak
dan/atau yang diatur dalam perjanjian kerja bersama.
(2) Dalam kesepakatan kedua belah pihak dan/atau perjanjian kerja bersama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
harus diatur mengenai:
a. jenis kegiatan yang diberikan kesempatan;
b. tata cara pemberian kesempatan;
c. pemberian kesempatan yang mendapat upah dan yang tidak mendapat upah.
BAB VIII
KEUANGAN DAN HARTA KEKAYAAN
Pasal 30
Keuangan serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh bersumber dari :
a. iuran anggota yang besarnya ditetapkan dalam anggaran dasar atau anggaran rumah tangga;
b. hasil usaha yang sah; dan
c. bantuan anggota atau pihak lain yang tidak mengikat.
Pasal 31
(1) Dalam hal bantuan pihak lain, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 huruf c, berasal dari luar negeri, pengurus
serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh harus memberitahukan
secara tertulis kepada instansi yang bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
(2) Bantuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) digunakan untuk meningkatkan kualitas dan kesejahteraan
anggota.
Pasal 32
Keuangan dan harta kekayaan serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh
harus terpisah dari keuangan dan harta kekayaan pribadi pengurus dan anggotannya.
Pasal 33
Pemindahan atau pengalihan keuangarl dan harta kekayaan kepada pihak lain serta investasi dana dan usaha lain
yang sah hanya dapat dilakukan menurut anggaran dasar dan/atau anggaran rumah tangga serikat pekerja/serikat
buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh yang bersangkutan.
Pasal 34
(1) Pengurus bertanggung jawab dalam penggunaan dan pengelolaan keuangan dan harta kekayaan serikat
pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh.
(2) Pengurus wajib membuat pembukuan keuangan dan harta kekayaan serta melaporkan secara berkala kepada
anggotanya menurut anggaran dasar dan/atau anggaran rumah tangga serikat pekerja serikat buruh, federasi dan
konfederasi serikat pekerja/serikat buruh yang bersangkutan.
BAB IX
PENYELESAIAN PERSELISIHAN
Pasal 35
Setiap perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh
diselesaikan secara musyawarah oleh serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat
buruh yang bersangkutan.
Pasal 36
Dalam hal musyawarah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 tidak mencapai kesepakatan, perselisihan
antarserikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh diselesaikan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
BAB X
PEMBUBARAN
Pasal 37
Serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh bubar dalam hal :
a. dinyatakan oleh anggotanya menurut anggaran dasar dan anggaran rumah tangga;
b. perusahaan tutup atau menghentikan kegiatannya untuk selama-lamanya yang mengakibatkan putusnya
hubungan kerja bagi seluruh pekerja/buruh di perusahaan setelah seluruh kewajiban pengusaha terhadap
pekerja/buruh diselesaikan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
c. dinyatakan dengan putusan Pengadilan.
Pasal 38
(1) Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 huruf c dapat membubarkan serikat pekerja/serikat buruh,
federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh dalam hal :
a. serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh mempunyai asas yang
bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945;
b. pengurus dan/atau anggota atas nama serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat
pekerja/serikat buruh terbukti melakukan kejahatan terhadap keamanan negara dan dijatuhi pidana penjara
sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
(2) Dalam hal putusan yang diiatuhkan kepada para pelaku tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
huruf b, lama hukumannya tidak sama, maka sebagai dasar gugatan pembubaran serikat pekerja/serikat buruh,
federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh digunakan putusan yang memenuhi syarat.
(3) Gugatan pembubaran serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diajukan oleh instansi pemelintah kepada pengadilan tempat
serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh yang bersangkutan
berkedudukan.
Pasal 39
(1) Bubarnya serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh tidak melepaskan
para pengurus dari tanggung jawab dan kewajibannya, baik terhadap anggota maupun terhadap pihak lain.
(2) Pengurus dan/atau anggota serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh
yang terbukti bersalah menurut keputusan pengadilan yang menyebabkan serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan
konfederasi serikat pekerja/serikat buruh dibubarkan, tidak boleh membentuk dan menjadi pengurus serikat
pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh lain selama 3 (tiga) tahun sejak putusan
pengadilan mengenai pembubaran serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/ serikat
buruh telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
BAB XI
PENGAWASAN DAN PENYIDIKAN
Pasal 40
Untuk menjamin hak pekerja/buruh berorganisasi dan hak serikat pekerja/serikat buruh melaksanakan kegiatannya,
pegawai pengawas ketenagakerjaan melakukan pengawasan sesuai dengan peraturan perundangan-undangan yang
berlaku.
Pasal 41
Selain penyidik pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, juga kepada pejabat pegawai negeri sipil tertentu di
lingkungan instansi pemerintah yang lingkup tugas dan tanggungjawabnya di bidang ketenagakerjaan diberi
wewenang khusus sebagai penyidik sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk melakukan
penyidikan tindak pidana.
BAB XII
SANKSI
Pasal 42
(1) Pelanggaran terhadap Pasal 5 ayat (2), Pasal 6 (2), Pasal 7 (2),Pasal 21 atau Pasal 31 dapat dikenakan sanksi
administratif pencabutan nomor bukti pencatatan serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat
pekerja/serikat buruh.
(2) Serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh yang dicabut nomor bukti
pencatatannya kehilangan haknya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) huruf a, b, dan c sampai
dengan waktu serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh yang
bersangkutan telah memenuhi ketentuan Pasal 5 ayat (2), Pasal 6 ayat (2), Pasal 7 ayat (2), Pasal 21 atau Pasal
31.
Pasal 43
(1) Barang siapa yang menghalang-halangi atau memaksa pekerja/buruh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28,
dikenakan sanksi pidana paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau denda paling
sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah),
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan tindak pidana kejahatan.
BAB XIII
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 44
(1) Pegawai negeri sipil mempunyai hak dan kebebasan untuk berserikat,
(2) Hak dan kebebasan berserikat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pelaksanaannya diatur dengan undangundang
tersendiri.
BAB XIV
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 45
(1) Pada saat diundangkannya undang-undang ini serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat
pekerja /serikat buruh yang telah mempunyai nomor bukti pencatatan harus memberitahukan untuk diberi
nomor bukti pencatatan yang baru sesuai dengan ketentuan undang-undang ini selambat-lambatnya 1 (satu)
tahun terhitung sejak mulai berlakunya undang-undang ini.
(2) Dalam jangka waktu 1 (satu) tahun terhitung sejak undang-undang ini mulai berlaku, serikat pekerja/serikat
buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh yang tidak menyesuaikan diri dengan ketentuan
undang-undang ini dianggaptidak mempunyai nomor bukti pencatatan.
Pasal 46
Pemberitahuan pembentukan serikat pekerja/serikat buruh, federasi dari konfederasi serikat pekerja/serikat buruh
yang telah diajukan, tetapi pemberitahuan tersebut belum selesai diproses saat undang-undang ini mulai berlaku,
harus diproses menurut ketentuan undang-undang ini.
BAB XV
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 47
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta
pada tanggal 4 Agustus 2000
PRESIDEN REPUBUK INDONESIA,
ttd.
ABDURRAHMAN WAHID
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 4 Agustus 2000
SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
DJOHAN EFFENDI

Undang-undang Tentang Keselamatan Kerja No 1 th 1970

LEMBARAN NEGARA
REPUBLIK INDONESIA

No. 1, 1970KESELAMATAN KERJA. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2918)

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 1 TAHUN 1970
TENTANG
KESELAMATAN KERJA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang: a. bahwa setiap tenaga kerja berhak mendapat perlindungan atas keselamatannya dalam melakukan pekerjaan untuk kesejahteraan hidup dan meningkatkan produksi serta produktivitas Nasional;
b. bahwa setiap orang lainnya yang berada di tempat kerja perlu terjamin pula keselamatannya;
c. bahwa setiap sumber produksi perlu dipakai dan dipergunakan secara aman dan effisien;
d. bahwa berhubung dengan itu perlu diadakan segala daya-upaya untuk membina norma-norma perlindungan kerja;
e. bahwa pembinaan norma-norma itu perlu diwujudkan dalam Undang-undang yang memuat ketentuan-ketentuan umum tentang keselamatan kerja yang sesuai dengan perkembangan masyarakat, industrialisasi, teknik dan teknologi;

Mengingat:     1. Pasal-pasal 5, 20 dan 27 Undang-Undang Dasar 1945;
2. asal-pasal 9 dan 10 Undang-undang No. 14 Tahun 1969 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok mengenai Tenaga Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1969 No. 55, Tambahan Lembaran Negara No. 2912);

Dengan Persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT GOTONG-ROYONG

MEMUTUSKAN:

1. Mencabut: Veiligheidsreglement Tahun 1910 (Stbl. No. 406),
2. Menetapkan:
UNDANG-UNDANG TENTANG KESELAMATAN KERJA.

BAB I.
TENTANG ISTILAH-ISTILAH

Pasal 1
Dalam Undang-undang ini yang dimaksudkan dengan:
(1) "tempat kerja" ialah tiap ruangan atau lapangan, tertutup atau terbuka, bergerak atau tetap, di mana tenaga kerja bekerja, atau yang sering dimasuki tenaga kerja untuk keperluan suatu usaha dan di mana terdapat sumber atau sumber-sumber bahaya sebagaimana diperinci dalam pasal 2; termasuk tempat kerja ialah semua ruangan, lapangan, halaman dan sekelilingnya yang merupakan bagian-bagian atau yang berhubungan dengan tempat kerja tersebut;
(2) "pengurus" ialah orang yang mempunyai tugas memimpin langsung sesuatu tempat kerja atau bagiannya yang berdiri sendiri;
(3) "pengusaha" ialah:
a. orang atau badan hukum yang menjalankan sesuatu usaha milik sendiri dan untuk keperluan itu mempergunakan tempat kerja;
b. orang atau badan hukum yang secara berdiri sendiri menjalankan sesuatu usaha bukan miliknya dan untuk keperluan itu mempergunakan tempat kerja;
c. orang atau badan hukum, yang di Indonesia mewakili orang atau badan hukum termaksud pada (a) dan (b), jikalau yang diwakili berkedudukan di luar Indonesia.
(4) "direktur" ialah pejabat yang ditunjuk oleh Menteri Tenaga Kerja untuk melaksanakan Undang-undang ini;
(5) "pegawai pengawas" ialah pegawai teknis berkeahlian khusus dari Departemen Tenaga Kerja;
(6) "ahli keselamatan kerja" ialah tenaga teknis berkeahlian khusus dari luar Departemen Tenaga Kerja yang ditunjuk oleh Menteri Tenaga Kerja untuk mengawasi ditaatinya Undang-undang ini.

BAB II.
RUANG LINGKUP

Pasal 2
(1) Yang diatur oleh Undang-undang ini ialah keselamatan kerja dalam segala tempat kerja, baik di darat, di dalam tanah, di permukaan air, di dalam air maupun di udara, yang berada di dalam wilayah kekuasaan hukum Republik Indonesia.
(2) Ketentuan-ketentuan dalam ayat (1) tersebut berlaku dalam tempat kerja di mana:
a. dibuat, dicoba, dipakai atau dipergunakan mesin, pesawat, alat, perkakas, peralatan atau instalasi yang berbahaya atau dapat menimbulkan kecelakaan, kebakaran atau peledakan;
b. dibuat, diolah, dipakai, dipergunakan, diperdagangkan, diangkut atau disimpan bahan atau barang yang: dapat meledak, mudah terbakar, menggigit, beracun, menimbulkan infeksi, bersuhu tinggi;
c. dikerjakan pembangunan, perbaikan, perawatan, pembersihan atau pembongkaran rumah, gedung atau bangunan lainnya, termasuk bangunan pengairan, saluran atau terowongan di bawah tanah dan sebagainya atau di mana dilakukan pekerjaan persiapan;
d. dilakukan usaha: pertanian, perkebunan, pembukaan hutan, pengerjaan hutan, pengolahan kayu atau hasil hutan lainnya, peternakan, perikanan dan lapangan kesehatan;
e. dilakukan usaha pertambangan dan pengolahan: emas, perak, logam atau bijih logam lainnya, batu-batuan, gas, minyak atau mineral lainnya, baik di permukaan atau di dalam bumi, maupun di dasar perairan; dilakukan pengangkutan barang, binatang atau manusia, baik di daratan, melalui terowongan, di permukaan air, dalam air maupun di udara;
g. dikerjakan bongkar-muat barang muatan di kapal, perahu, dermaga, dok, stasiun atau gundang;
h. dilakukan penyelaman, pengambilan benda dan pekerjaan lain di dalam air;
i. dilakukan pekerjaan dalam ketinggian di atas permukaan tanah atau perairan;
j. dilakukan pekerjaan di bawah tekanan udara atau suhu yang tinggi atau rendah;
k. dilakukan pekerjaan yang mengandung bahaya tertimbun tanah, kejatuhan, terkena pelantingan benda, terjatuh atau terperosok, hanyut atau terpelanting;
l. dilakukan pekerjaan dalam tangki, sumur atau lobang;
m. terdapat atau menyebar suhu, kelembaban, debu, kotoran, api, asap, uap, gas, hembusan angin, cuaca, sinar atau radiasi, suara atau getaran;
n. dilakukan pembuangan atau pemusnahan sampah atau limbah;
o. dilakukan pemancaran, penyiaran atau penerimaan radio, radar, televisi atau telepon;
p. dilakukan pendidikan, pembinaan, percobaan, penyelidikan atau riset (penelitian) yang menggunakan alat teknis;
q. dibangkitkan, dirubah, dikumpulkan, disimpan, dibagibagikan atau disalurkan listrik, gas, minyak atau air;
r. diputar film, dipertunjukkan sandiwara atau diselenggarakan rekreasi lainnya yang memakai peralatan, instalasi listrik atau mekanik.
(3) Dengan peraturan perundangan dapat ditunjuk sebagai tempat kerja, ruangan-ruangan atau lapangan-lapangan lainnya yang dapat membahayakan keselamatan atau kesehatan yang bekerja dan atau yang berada di ruangan atau lapangan itu dan dapat dirubah perincian tersebut dalam ayat (2).

BAB III.
SYARAT-SYARAT KESELAMATAN KERJA.

Pasal 3
(1) Dengan peraturan perundangan ditetapkan syarat-syarat keselamatan kerja untuk:
a. mencegah dan mengurangi kecelakaan;
b. mencegah, mengurangi dan memadamkan kebakaran;
c. mencegah dan mengurangi bahaya peledakan;
d. memberi kesempatan atau jalan menyelamatkan diri pada waktu kebakaran atau kejadian-kejadian lain yang berbahaya;
e. memberi pertolongan pada kecelakaan;
f. memberi alat-alat perlindungan diri pada para pekerja;
g. mencegah dan mengendalikan timbul atau menyebarluasnya suhu, kelembaban, debu, kotoran, asap, uap, gas, hembusan angin, cuaca, sinar atau radiasi, suara dan getaran;
h. mencegah dan mengendalikan timbulnya penyakit akibat kerja baik physik maupun psychis, peracunan, infeksi dan penularan;
i. memperoleh penerangan yang cukup dan sesuai;
j. menyelenggarakan suhu dan lembab udara yang baik;
k. menyelenggarakan penyegaran udara yang cukup;
l. memelihara kebersihan, kesehatan dan ketertiban;
m. memperoleh keserasian antara tenaga kerja, alat kerja, lingkungan, cara dan proses kerjanya;
n. mengamankan dan memperlancar pengangkutan orang, binatang, tanaman atau barang;
o. mengamankan dan memelihara segala jenis bangunan;
p. mengamankan dan memperlancar pekerjaan bongkar-muat, perlakuan dan penyimpanan barang;
q. mencegah terkena aliran listrik yang berbahaya;
r. menyesuaikan dan menyempurnakan pengamanan pada pekerjaan yang bahaya kecelakaannya menjadi bertambah tinggi.
(2) Dengan peraturan perundangan dapat dirubah perincian seperti tersebut dalam ayat (1) sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan, teknik dan teknologi serta pendapatan-pendapatan baru di kemudian hari.

Pasal 4
(1) Dengan peraturan perundangan ditetapkan syarat-syarat keselamatan kerja dalam perencanaan, pembuatan, pengangkutan, peredaran, perdagangan, pemasangan, pemakaian, penggunaan, pemeliharaan dan penyimpanan bahan, barang, produk teknik dan aparat produksi yang mengandung dan dapat menimbulkan bahaya kecelakaan.
(2) Syarat-syarat tersebut memuat prinsip-prinsip teknik ilmiah menjadi suatu kumpulan ketentuan yang disusun secara teratur, jelas dan praktis yang mencakup bidang konstruksi, bahan, pengolahan dan pembuatan, perlengkapan alat-alat perlindungan, pengujian dan pengesyahan, pengepakan atau pembungkusan, pemberian tanda-tanda pengenal atas bahan, barang, produk teknis dan aparat produksi guna menjamin keselamatan barang-barang itu sendiri, keselamatan tenaga kerja yang melakukannya dan keselamatan umum.
(3) Dengan peraturan perundangan dapat dirubah perincian seperti tersebut dalam ayat (1) dan (2): dengan peraturan perundangan ditetapkan siapa yang berkewajiban memenuhi dan mentaati syarat-syarat keselamatan tersebut.

BAB IV.
PENGAWASAN

Pasal 5
(1) Direktur melakukan pelaksanaan umum terhadap Undang-undang ini, sedangkan para pegawai pengawas dan ahli keselamatan kerja ditugaskan menjalankan pengawasan langsung terhadap ditaatinya Undang-undang ini dan membantu pelaksanaannya.
(2) Wewenang dan kewajiban direktur, pegawai pengawas dan ahli keselamatan kerja dalam melaksanakan Undang-undang ini diatur dengan peraturan perundangan.

Pasal 6
(1) Barangsiapa tidak dapat menerima keputusan direktur dapat mengajukan permohonan banding kepada Panitia Banding.
(2) Tata-cara permohonan banding, susunan Panitia Banding, tugas Panitia Banding dan lain-lainnya ditetapkan oleh Menteri Tenaga Kerja.
(3) Keputusan Panitia Banding tidak dapat dibanding lagi.

Pasal 7
Untuk pengawasan berdasarkan Undang-undang ini pengusaha harus membayar retribusi menurut ketentuan-ketentuan yang akan diatur dengan peraturan perundangan.

Pasal 8
(1) Pengurus diwajibkan memeriksakan kesehatan badan, kondisi mental dan kemampuan fisik dari tenaga kerja yang akan diterimanya maupun akan dipindahkan sesuai dengan sifat-sifat pekerjaan yang diberikan padanya.
(2) Pengurus diwajibkan memeriksakan semua tenaga kerja yang berada di bawah pimpinannya, secara berkala pada dokter yang ditunjuk oleh pengusaha dan dibenarkan oleh direktur.
(3) Norma-norma mengenai pengujian keselamatan ditetapkan dengan peraturan perundangan.

BAB V.
PEMBINAAN.

Pasal 9
(1) Pengurus diwajibkan menunjukkan dan menjelaskan pada tiap tenaga kerja baru tentang:
a. Kondisi-kondisi dan bahaya-bahaya serta yang dapat timbul dalam tempat kerjanya;
b. Semua pengamanan dan alat-alat perlindungan yang diharuskan dalam tempat kerjanya;
c. Alat-alat perlindungan diri bagi tenaga kerja yang bersangkutan;
d. Cara-cara dan sikap yang aman dalam melaksanakan pekerjaannya.
(2) Pengurus hanya dapat mempekerjakan tenaga kerja yang bersangkutan setelah ia yakin bahwa tenaga kerja tersebut telah memahami syarat-syarat tersebut di atas.
(3) Pengurus diwajibkan menyelenggarakan pembinaan bagi semua tenaga kerja yang berada di bawah pimpinannya, dalam pencegahan kecelakaan dan pemberantasan kebakaran serta peningkatan keselamatan dan kesehatan kerja, pula dalam pemberian pertolongan pertama pada kecelakaan.
(4) Pengurus diwajibkan memenuhi dan mentaati semua syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan yang berlaku bagi usaha dan tempat kerja yang dijalankannya.

BAB VI.
PANITIA PEMBINA KESELAMATAN DAN
KESEHATAN KERJA

Pasal 10
(1) Menteri Tenaga Kerja berwenang membentuk Panitia Pembina Keselamatan dan Kesehatan Kerja guna memperkembangkan kerja-sama, saling pengertian dan partisipasi efektif dari pengusaha atau pengurus dan tenaga kerja dalam tempat-tempat kerja untuk melaksanakan tugas dan kewajiban bersama di bidang keselamatan dan kesehatan kerja, dalam rangka melancarkan usaha berproduksi.
(2) Susunan Panitia Pembina Keselamatan dan Kesehatan Kerja, tugas dan lain-lainnya ditetapkan oleh Menteri Tenaga Kerja.

BAB VII.
KECELAKAAN.

Pasal 11
(1) Pengurus diwajibkan melaporkan tiap kecelakaan yang terjadi dalam tempat kerja yang dipimpinnya, pada pejabat yang ditunjuk oleh Menteri Tenaga Kerja.
(2) Tata-cara pelaporan dan pemeriksaan kecelakaan oleh pegawai termaksud dalam ayat (1) diatur dengan peraturan perundangan.

BAB VIII.
KEWAJIBAN DAN HAK TENAGA KERJA.

Pasal 12
Dengan peraturan perundangan diatur kewajiban dan atau hak tenaga kerja untuk:
a. Memberikan keterangan yang benar bila diminta oleh pegawai pengawas dan atau ahli keselamatan kerja;
b. Memakai alat-alat perlindungan diri yang diwajibkan;
c. Memenuhi dan mentaati semua syarat-syarat keselamatan dan kesehatan kerja yang diwajibkan;
d. Meminta pada pengurus agar dilaksanakan semua syarat keselamatan dan kesehatan kerja yang diwajibkan;
e. Menyatakan keberatan kerja pada pekerjaan di mana syarat keselamatan dan kesehatan kerja serta alat-alat perlindungan diri yang diwajibkan diragukan olehnya kecuali dalam hal-hal khusus ditentukan lain oleh pegawai pengawas dalam batas-batas yang masih dapat dipertanggungjawabkan.

BAB IX.
KEWAJIBAN BILA MEMASUKI TEMPAT KERJA.

Pasal 13
Barangsiapa akan memasuki sesuatu tempat kerja, diwajibkan mentaati semua petunjuk keselamatan kerja dan memakai alat-alat perlindungan diri yang diwajibkan.

BAB X.
KEWAJIBAN PENGURUS.

Pasal 14
Pengurus diwajibkan:
a. Secara tertulis menempatkan dalam tempat kerja yang dipimpinnya, semua syarat keselamatan kerja yang diwajibkan, sehelai Undang-undang ini dan semua peraturan pelaksanaannya yang berlaku bagi tempat kerja yang bersangkutan, pada tempat-tempat yang mudah dilihat dan terbaca dan menurut petunjuk pegawai pengawas atau ahli keselamatan kerja;
b. Memasang dalam tempat kerja yang dipimpinnya, semua gambar keselamatan kerja yang diwajibkan dan semua bahan pembinaan lainnya, pada tempat-tempat yang mudah dilihat dan terbaca menurut petunjuk pegawai pengawas atau ahli Keselamatan Kerja;
c. Menyediakan secara cuma-cuma, semua alat perlindungan diri yang diwajibkan pada tenaga kerja yang berada di bawah pimpinannya dan menyediakan bagi setiap orang lain yang memasuki tempat kerja tersebut, disertai dengan petunjuk-petunjuk yang diperlukan menurut petunjuk pegawai pengawas atau ahli keselamatan kerja.

BAB XI.
KETENTUAN-KETENTUAN PENUTUP.

Pasal 15
(1) Pelaksanaan ketentuan tersebut pada pasal-pasal di atas diatur lebih lanjut dengan peraturan perundangan.
(2) Peraturan perundangan tersebut pada ayat (1) dapat memberikan ancaman pidana atas pelanggaran peraturannya dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan atau denda setinggi-tingginya Rp100.000, - (seratus ribu rupiah).
(3) Tindak pidana tersebut adalah pelanggaran.

Pasal 16
Pengusaha yang mempergunakan tempat-tempat kerja yang sudah ada pada waktu Undang-undang ini mulai berlaku wajib mengusahakan di di dalam satu tahun sesudah Undang-undang ini mulai berlaku, untuk memenuhi ketentuan-ketentuan menurut atau berdasarkan Undang-undang ini.

Pasal 17
Selama peraturan perundangan untuk melaksanakan ketentuan dalam Undang-undang ini belum dikeluarkan, maka peraturan dalam bidang keselamatan kerja yang ada pada waktu Undang-undang ini mulai berlaku, tetapi berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-undang ini.

Pasal 18
Undang-undang ini disebut "UNDANG-UNDANG KESELAMATAN KERJA" dan mulai berlaku pada hari diundangkan.

Agar supaya setiap orang dapat mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta
Pada tanggal 12 Januari 1970
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

SOEHARTO.
Jenderal T.N.I.
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 12 Januari 1970
SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,

ALAMSJAH
Mayor Jenderal T.N.I.

PETUNJUK PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL ( KEPMEN NO. KEP.15A/MEN/1994 )

KEPUTUSAN
MENTERI TENAGA KERJA
NO. KEP.15A/MEN/1994
TENTANG
PETUNJUK PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DAN PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA DI TINGKAT PERUSAHAAN DAN PEMERANTARAAN
MENTERI TENAGA KERJA
Menimbang:
a.     Bahwa sesuai dengan Hubungan Industrial Pancasila perselisihan antara Pengusaha dan Pekerja diselesaikan dengan musyawarah secara kekeluargaan sehingga perselisihan tersebut tidak merusak hubungan baik antara pekerja dengan pengusaha.
b.     Bahwa Pemutusan Hubungan Kerja oleh Pengusaha terhadap pekerjanya merupakan hal yang sedang mungkin dihindari, namun demikian apabila terpaksa terjadi Pemutusan Hubungan Kerja maka diselesaikan secara baik.
c.     Bahwa petunjuk penyelesaian perselisihan hubungan industrial dan pemutusan hubungan kerja sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. Kep.342/Men/1986, No. Kep. 1108/Men/1986, dan No. Kep 120/Men/1988, sudah tidak sesuai dengan kebutuhan sehingga perlu disempurnakan.
d.     Bahwa untuk itu perlu ditetapkan dengan Keputusan Menteri.
Mengingat:
1.     Undang-Undang No. 3 Tahun 1951 tentang Pernyataan berlakunya Undang-Undang Pengawasan Perburuhan Tahun 1948 Nomor 23 dari Republik Indonesia untuk seluruh Indonesia untuk seluruh Indonesia.
2.     Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan (Lembaran Negara Tahun 1957 No. 42, Tambahan Lembaran No. 1227);
3.     Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1964 tentang Pemutusan Hubungan Kerja di Perusahaan Swasta (Lembaran Negara Tahun 1964 No. 93, Tambahan Lembaran No. 2686);
4.     Keputusan Presiden R.I No. 104 tahun 1993 tentang perubahan atas Keputusan Presiden No. 15 tahun 1984 tentang Susunan Organisasi Departemen sebagaimana telah Dua puluh kali diubah terakhir dengan Keputusan Presiden No. 83 tahun 1993;
5.     Keputusan Presiden R.I No. 96/M tahun 1993 tentang PembentukanKabinet Pembangunan VI;
6.     Peraturan Menteri Tenaga Kerja        No. Per.02/Men/1985 tentang Syarat Penunjukan Tugas , Kedudukan dan Wewenang Pegawai Perantara;
7.     Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. Per.04/Men/1985 tentang Tata Cara Pemutusan Hubungan Kerja dan Penetapan Uang Pesangon Uang Jasa dan Ganti Kerugian;
8.     Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. Per.297/Men/1985 tentang Pedoman
Kerja Pegawai Perantara.
MEMUTUSKAN
Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DAN PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA DI TINGKAT PERUSAHAAN DAN PEMERANTARAAN.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Keputusan ini yang dimaksud dengan :
(1)  Pegawai Perantara ialah Pegawai sebagaimana dimaksud dalam Penyelesaian Perselisihan Perburuhan;
(2)  Perselisihan Hubungan Industrial ialah perselisihan perburuhan sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 ayat (1) huruf c Undang-Undang No. 22 tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan;
(3)  Pekerja ialah tenaga kerja yang bekerja pada pengusaha dengan menerima upah.
(4)  Pengusaha adalah :
1.     Orang,          Persekutuan atau Badan Hukum yang menjalankan suatu perusahaan milik sendiri;
2.     Orang, Persekutuan atau Badan Hukum   yang secara berdiri sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya;
3.     orang, Persekutuan atau Badan Hukum yang berada di Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud pada angka 1 dan angka 2, yang berkedudukan di luar Indonesia.
4.     Panitia Daerah ialah Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuan Daerah sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 ayat (1) huruf f Undang-Undang No. 22 tahun 1957;
5.     Panitia Pusat ialah Panita Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 ayat (1) huruf g Undang-Undang no. 22 tahun 1957;
6.     Panitia Tenaga Kerja ialah suatu Panitia yang dibentuk oleh Departemen Tenaga Kerja dan Departemen teknis yang bertugas dan berwenang untuk menyelesaiakan masalah ketenagakerjaan yang terjadi di perusahaan dari satu sektor usaha tertentu.
Pasal 2
Peyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial dan Pemutusan Hubungan Kerja diselesaiakan secara bertahap, mulai dari tingkat Perusahaan atau Bipartit, tingkat Pemerantaraan, tingkat Panitia Daerah dan tingkat Panitia Pusat.
BAB II
PROSEDUR PENYELESAIAN PERSELISIHAN
HUBUNGAN IDUSTRIAL DAN PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA
Bagian pertama
Tingkat Perusahaan
Pasal 3
Penyelesaian Keluh Kesah sebelum menjadi perselisihan hubungan industrial dan pemutusan hubungan kerja:
a.                 Dilakukan di tingkat perusahaan secara Bipartit dengan prinsip musyawarah untuk mufakat oleh pekerja itu sendiri atau melalui atasannya dengan pengusaha;
b.                 Penyelesaian keluh kesah sebagaimana dimaksud dalam huruf a, dapat dilakukan melalui pengurus Pekerja yang terdaftar di Departemen Tenaga Kerja atau organisasi pekerja lainnya.
Pengusaha dan Pekerja wajib mengupayakan agar keluh kesah yang timbul tidak menjadi perselisihan hubungan industrial atau menjadi pemutusan hubungan kerja.
Pasal 4
Dalam hal keluh kesah meningkat menjadi perselisihan hubungan industrial maka penyelesaiannya dilakukan :
1.     Melalui perundingan secara musyawarah untuk mufakat antara Serikat Pekerja atau gabungan Serikat Pekerja yang terdaftar di Departemen Tenaga kerja atau organisasi pekerja lainnya dengan pengusaha atau gabungan pengusaha;
2.     Setiap perundingan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, sebanyak-banyak 3 (tiga) kali dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan dan setiap perundingan dibuat risalah yang disampaikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan;
3.     Risalah perundingan sebagaimana dimaksud dalam huruf b memuat antara lain :
1.     Nama dan alamat pekerja
2.     Nama dan alamat Serikat Pekerja atau organisasi pekerja lainnya.
3.     Nama dan alamat perundingan
4.     Alasan atau pokok masalah perselisihan
5.     Pendirian para pihak
6.     Kesimpulan perundingan
7.     Tanggal dan tanda tangan pihak yang melakukan perundingan
8.     Apabila perundingan sebagaimana dimaksud dalam huruf a tercapai kesepakatan penyelesaian, maka dibuat persetujuan bersama secara tertulis yang ditandatangani oleh para pihak dan disaksikan oleh Pengurus Serikat Pekerja setempat pada Perusahaan yang telah terbentuk Serikat Pekerja atau organisasi pekerja lainnya serta disampaikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan.
9.     Apabila perundingan sebagaimana dimaksud dalam huruf a tidak tercapai kesepakatan penyelesaian, maka kedua belah pihak dapat menyelesaiakan melalui Arbitrase.
10. Dalam hal kedua belah pihak menghendaki penyelesaian sebagaimana dimaksud dalam huruf e, maka salah satu pihak atau kedua belah pihak meminta kepada Kantor departemen Tenaga kerja setempat dengan tembusan kepada Panitia Daerah disertai bukti-bukti perundingan untuk diselesaikan melalui pemerantaraan.
Pasal 5
Dalam hal keluh kesah sebagaimana dimaksud dalam pasal 3 berkembang menjurus kepada pemutusan hubungan kerja maka penyelesaiannya sebagai berikut :
a.     Penyelesaian harus dirundingkan secara musyawarah untuk mufakat antara pengusaha dengan pekerja itu sendiri atau dengan Serikat Pekerja yang terdaftar di departemen Tenaga Kejra atau organisasi pekerja lainnya apabila pekerja tersebut menjadi anggota;
b.     Setiap perundingan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dilakukan sebanyak-banyaknya 3 (tiga) kali dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan, dan setiap perundingan dibuat risalah yang disampaikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan;
c.     Risalah perundingan sebagaimana dimaksud dalam huruf b memuat antara lain :
1.     Nama dan alamat
2.     Nama dan alamat Serikat Pekerja atau organisasi pekerja lainnya
3.     Nama dan alamat pengusaha atau yang diwakili
4.     Tanggal dan tempat perundingan
5.     Pokok masalah atau alasan Pemutusan Hubungan Kerja
6.     Pendirian para pihak
7.     Kesimpulan perundingan
8.     Tanggal dan tanda tangan pihak-pihak yang melakukan perundingan.
d.     Apabila perundingan sebagaimana dimaksud dalam huruf a mencapai kesepakatan, maka dibuat persetujuan bersama secara tertulis yang ditandatangani oleh para pihak dan disamakan oleh Pengurus Serikat Pekerja atau organisasi pekerja lainnya serta disampaikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan;
e.     Apabila perundingan sebagaimana dimaksud huruf a, tidak mencapai kesepakatan, maka sebelum pengusaha mengajukan permohonan ijijn pemutusan hubungan kerja kepada Panitia Daerah, untuk pemutusan hubungan kerja perorangan atau Panitia Pusat untuk pemutusan kerja massal, kedua belah pihak atau salah satu pihak dapat mengajukan permintaan kepada Kantor Departemen Tenaga kerja setempat untuk diperantarai oleh Pegawai Perantara;
f.      Hasil perundingan baik yang telah tercapai perseyujuan bersama maupun tidak harus dilampirkan pada setiap pengajuan permohonan ijij pemutusan hubngan kerja oleh pengusaha.
Pasal 6
Dalam hal timbul keluh kesah, penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial dan Pemutusan Hubungan Kerja, pengusaha sedapat mungkin menghindarkan terjadinya penutupan perusahaan (lock out) dan pekerja sedapat mungkin menghindari terjadinya mogok/unjuk rasa atau slow down.
Pasal 7
Dalam hal terjadinya Perselisihan Hubungan Industrial diluar ketentuan Peraturan perundang-undangan Ketenagakerjaan, penyelesaiannya dilakukan secara terpadu dengan instansi terkait sesuai dengan tugas dan fungsi masingmasing.
Bagian Kedua
Tingkat Perantaraan
Pasal 8
Penyelesaian tingkat perantaraan :
a.     Pegawai Perantara harus menerima setiap permintaan penyelesaian perselisihan hubungan industrial dan pemutusan hubungan kerja;
b.     Pegawai Perantara setelah menerima permintaan penyelesaian perselisihan hubungan industrial sebagaimana dimaksud dalam huruf a harus menawarkan kepada kedua belah pihak apakah perselisihan hubungan industrial tersebut akan diselesaiakan melalui Arbitrase;
c.     Dalam hal kedua belah pihak tidak menghendaki penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui Arbitrase, Pegawai Peranatara dalam waktu selambat-lambatnya 7 hari harus sudah mengadakan pemerantaraan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku, termasuk mengadakan penelitian dan usaha penyelesaian maslah-masalah yang sifatnya normative melalui Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan;
d.     Tenggang waktu sebagaimana dimaksud dalam huruf c, berlaku juga bagi perantaraan penyelesaian perselisihan hubungan industrial dan pemutusan hubungan kerja;
e.     Pegawai Perantara dalam melaksanakan pemerantaraan Perselisihan Hubungan Industrial atau Pemutusan Hubungan Kerja harus mengupayakan penyelesaian melalui perundingan secara musyawarah untuk mufakat;
f.      Dalam hal perantara sebagaimana dimaksud dalam huruf e tercapai kesepakatan penyelesaian, maka dibuat persetujuan bersama secara tertulis yang ditandatangani oleh para pihak dan diketahui/disaksikan oleh Pegawai Perantara.
g.     Pegawai Perantara setelah menerima persetujuan bersama Peselisihan Hubungan Industrial atau Pemutusan Hubungan Kerja yang dicapai di tingkat perusahaan, dalam waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari harus sudah meneruskan kepada Panitia Daerah untuk Perselisihan Hubungan Industrial atau Pemutusah Hubungan Kerja perorangan dan kepada Panitia Pusat untuk Pemutusan Hubungan Kerja massal;
h.     Dalam hal pemerantaraan sebagaimana dimaksud dalam huruf e tidak tercapai kesepakatan penyelesaian, Pegawai Perantara harus membuat anjuran secara tertulis yang memuat usul penyelesaian dengan menyebutkan dasar pertimbangannya dan menyampaikan kepada para pihak serta mengupayakan tanggapan para pihak dalam waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari sejak diterimanya anjuran dimaksud;
i.       Apabila kedua belah pihak menerima anjuran sebagimana dimaksud huruf h maka dibuat Persetujuan Bersama secara tertulis diselesaiakan seperti tersebut dalam huruf g;
j.      Dalam hal anjuran tidak diterima oleh para pihak/salah satu pihak, maka pegawai perantara membuat Laporan Pemerantaraan Bentuk II secara lengkap, sehingga memberikan ikhtisar yang jelas mengenai penyelesaian perkara.
k.     Laporan sebagaimana ddimaksud dalam huruf j beserta tanggapan para pihak/salah satu pihak disampaikan kepada Panitia Daerah untuk perselisihan hubungan industrial atau kepada Panitia Pusat untuk pemutusan hubungan kerja massal dengan tembusan kepada Kantor Wilayah Departemen Tenaga Kerja setempat.
l.       Dalam hal Perantaraan Perselisihan terdapat tuntutan yang bersifat normatif antara lain upah lembur, tunjangan kecelakaan dan cuti tahunan, maka Pegawai Perantara meminta bantuan kepada Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan Kantor Departemen Tenaga kerja setempat untuk menetapkan dan menghitung upah lembur tersebut;
m.   Dalam hal penetapan upah lembur, Pegawai Ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam huruf l merupakan satu kesatuan dengan masalah Pemutusan Hubungan Kerja, maka Pegawai Perantara meneruskan kepada Panitia Daerah atau Panitia Pusat untuk penyelesaian lebih lanjut.
Pasal 9
Penyelesaian di tingkat pemerantaraan sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 harus sudah selesai dalam waktu selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari.
Pasal 10
(1)        Dalam hal Pegawai Perantara menerima pengaduan berhubungan dengan masalah ketenagakerjaan pada Badan Usaha Milik negara (BUMN)/Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). maka Pegawai Perantara dapat memberikan jasa-jasa baik.
(2)        Dalam penyelesaian pengadaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tercapai kesepakatan penyelesaian maka Pegawai Perantara membuat Persetujuan Bersama secara tertulis dan apabila tidak tercapai kesepakatan penyelesaian dibuatkan anjuran secara tertulis.
(3)        Apabila anjuran Pegawai Perantara sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak diterima, maka Pegawai Perantara meneruskan Permasalahannya kepada Korpri BUMN/BUMD yang bersangkutan untuk penyelesaian lebih alnjut.
(4)        Dalam Penyelesaian pengaduan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) Pegawai Perantara dapat mengadakan koordinasi dan konsultasi dengan instansi tehnis, Pemerintah Daerah dan Korpri.
(5)        Untuk sektor pada BUMN yang sudah apa Panitia Tenaga Kerja, maka Pegawai Perantara m,enyerahkan penyelesaiannya kepada Panitia Tenaga Kerja yang bersangkutan.
Pasal 11
(1)    Apabila Pegawai Perantara mengetahui terjadinya penutupan perusahaan (lock out), pemogokan dan atau slow down Pegawai Perantara langsung mendatangi lokasi kejadian.
(2)    Dalam menangani kejadian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) Pegawai Perantara mengupayakan dan menganjurkan kepada para pekerja agar bekerja kembali seperti semula dan menganjurkan pengusaha agar meneruskan kegiatnnya.
(3)    Pegawai Perantara segera melakukan perundingan dengan para pihak untuk menyelesaikan masalah ketenagakerjaanyang menyebabkan terjadinya penutupan perusahaan (lock out), pemogokan dan atau slow down.
(4)    Dalam hal perundingan dimaksud dalam ayat (3) tercapai kesepakatan penyelesaian, maka dibuat Persetujuan Bersama secara tertulis yang ditandatangani oleh kedua belah pihak yang diketahui/disaksikan oleh Pegawai Perantara
(5)    Dalam hal perundingan dimaksud dalam ayat (3) tidak tercapai kesepakatan penyelesaian, maka pegawai perantara manyarahkan kepada Panitia Daerah mengenai masalah Perselisihan serta kepada Panitia Pusat mengenai Pemutusan Hubungan Kerja massal untuk penyelesaian lebih lanjut.
BAB III
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 12
(1)    Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan mengawasi pelaksanaan Keputusan Menteri ini sesuai dengan tugas dan fungsinya.
(2)    Dalam hal Pegawai Pengawas mengetahui adanya gejala akan terjadi Perselisihan Hubungan Industrial wajib segeramengambil langkah-langkah sesuai dengan kewenangannya dan melaporkan kepada atasannya.
Pasal 13
Dengan ditetapkannya Keputusan Menteri ini, maka Keputusan Tenaga Kerja No.Kep. 342/Men/1986 tentang Pedoman/Petunjuk Umum Pemerantaraan Perselisihan Hubungan Industrial khususnya dalam menghadapi kasus-kasus mengenai upah lembur, pemogokan, pekerja kontrak, pemutusan hubungan kerja dan perubahan status atau pemilikan perusahaan, No. Kep. 1108/Men/1986 tentang Pedoman Pelaksanaan Penyelesaian Perselisihan Industrial dan Pemutusan Hubungan Kerja dan No. Kep. 120/men/1988 tentang pedoman Penuntun Perilaku (Code of Conduct) dalam pencegahan dan penyelesaian perselisihan industrial dinyatakan tidak berlaku lagi.
Pasal 14
Keputusan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal : 4-1-1993
MENTERI TENAGA KERJA R.I
ttd
Drs. ABDUL LATIEF

THR ? ini dasar hukumnya.


PERATURAN  MENTERI TENAGA KERJA
REPUBLIK INDONESIA

NOMOR Per-04/MEN/1994

TENTANG

TUNJANGAN HARI RAYA KEAGAMAAN
BAGI PEKERJA DI PERUSAHAAN


MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang
:
a.     Bahwa masyarakat Indonesia merupakan masyarakat pemeluk agama yang setiap tahunnya merayakan hari raya keagamaan sesuai dengan agamanya masing-masing;
b.     Bahwa bagi pekerja untuk merayakan hari raya tersebut memerlukan biaya tambahan;
c.     Bahwa untuk merayakan hari raya tersebut sudah sewajarnya pengusaha memberikan Tunjangan Hari Raya Keagamaan;
d.     Bahwa untuk menciptakan ketenangan usaha, meningkatkan kesejahteraan pekerja dan keseragaman mengenai pemberian Tunjangan Hari Raya Keagamaan perlu ditetapkan dengan Peraturan Menteri.

Mengingat
:
1.    Undang-undang No. 3 Tahun 1951 tentang Pernyataan berlakunya Undang-Undang Pengawasan Perburuhan Tahun 1948 Nomor 21 dan Republik Indonesia untuk seluruh Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1951 Nomor 4)
2.    Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1969 tentang Ketentuan-ketentuan Pkok mengenai Tenaga kerja (Lembaran Negara Tahun 1969 Nomor 55, Tambahan Lembaran Negara No. 2912)
3.    Keputusan Presiden Republik Indonesia  Nomor 96/M/1993 tentang Pembentukan Kabinet Pembangunan VI.

MEMUTUSKAN:

Menetapkan
:
PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA TENTANG TUNJANGAN HARI RAYA KEAGAMAAN BAGI PEKERJA DI PERUSAHAAN


 Pasal 1.

Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan :

a.         Perusahaan adalah setiap bentuk usaha yang mempekerjakan pekerja baik dengan tujuan mencari keuntungan atau tidak, baik milik swasta maupun milik Pemerintah.

b.         Pengusaha adalah :
1.         Orang, Persekutuan atau badan Hukum yang secara berdiri sendiri menjalankan suatu perusahaan milik sendiri.
2.         Orang, Persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya.
3.         Orang, Persekutuan, atau badan hukum yang berada di Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam angka 1 dan angka 2 yang berkedudukan di luar Indonesia.

c.         Pekerja adalah tenaga kerja yang bekerja pada Pengusaha dengan menerima upah.

d.         Tunjangan Hari raya Keagamaan yang selanjutnya disebut THR, adalah pendapatn pekerja yang wajib dibayarkan oleh Pengusaha kepada pekerja atau keluarganya menjelang Hari Raya Keagamaan yang berupa uang atau bentuk lain.

e.         Hari Raya Keagamaan adalah Hari Raya Idul Fitri bagi pekerja yang beragama Islam, Hari Raya Natal bagi pekerja yang beragama Kristen Katholik dan Protestan, Hari Raya Nyepi bagi pekerja bergama Hindu dan Hari Raya Waisak bagi pekerja yang beragama Budha.

Pasal 2

(1)       Pengusaha wajib memberikan THR kepada pekerja yang telah mempunyai masa kerja 3 bulan secara terus menerus atau lebih;

(2)       THR sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberikan satu kali dalam setahun.

Pasal 3

(1)       Besarnya THR sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) ditetapkan sebagai berikut:
a.         Pekerja yang telah mempunyai masa kerja 12 bulan secara terus menerus atau lebih sebesar 1 (satu) bulan upah.
b.         Pekerja yang telah mempunyai masa kerja 3 bulan secara terus menerus tetapi kurang dari 12 bulan diberikan secara proporsional dengan masa kerja, yakni dengan perhitungan:



Masa Kerja  X 1 Bulan Upah
       12


(2)       Upah satu bulan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah uapah pokok ditambah tunjangan-tunjangan tetap.

(3)       Dalam hal penetapan besarnya nilai THR menurut Kesepakatan Kerja (KK) atau Peraturan Perusahaan (PP) atau Kesepakatan Kerja Bersama (KKB) atau kebiasaan yang dilakukan lebih besar dari nilai THR sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka THR yang dibayarkan kepada pekerja sesuai dengan Kesepakatan Kerja, Peraturan Perusahaan, Kesepakatan Kerja Bersama atau kebiasaan yang telah dilakukan.



Pasal 4

(1)       Pemberian THR sebagaimana dimaksud pasal 2 ayat (2) disesuaikan dengan Hari Raya Keagamaan, masing-masing pekerja kecuali kesepakatan pengusaha dan pekerja menentukan lain.

(2)       Pembayaran THR sebagaimana di maksud dalam ayat (1) wajib dibayarkan oleh Pengusaha selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari sebelum Hari Raya Keagamaan.

Pasal 5

(1)       Dengan persetujuan pekerja, THR sebagaimana dimaksud dalam pasal 3 sebagian dapat diberikan dalam bentuk lain, kecuali minuman keras, obat-obatan atau bahan obat-obatan, dengan ketentuan nilainya tidak boleh melebihi 25% (dua puluh lima persen) dari nilai THR yang seharusnya diterima.

(2)       Bentuk lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberikan bersamaan dengan pembayaran THR.

Pasal 6

(1)       Pekerja yang putus hubungan kerjanya terhitung sejak 30 (tiga puluh) hari sebelum jatuh tempo Hari Raya Keagamaan berhak atas THR.

(2)       Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku bagi pekerja dalam hubungan kerja untuk waktu tertentu yang hubungan kerjanya berakhir sebelum jatuh tempo Hari Raya Keagamaan.

(3)       Dalam hal pekerja dipindahkan ke perusahaan lain dengan masa kerja berlanjut, maka pekerja berhak atas THR pada perusahaan yang baru, apabila dari perusahaan yang lama pekerja yang bersangkutan belum mendapatkan THR.

Pasal 7

(1)       Pengusaha yang karena kondisi perusahaannya tidak mampu mebayar THR dapat mengajukan permohonan penyimpangan mengenai besarnya jumlah THR kepada Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Pengawasan Ketenagakerjaan.

(2)       Pengajuan permohonan sebagaimana dimaksud ayat (1) harus diajukan paling lambat 2 bulan sebelum Hari Raya Keagamaan yang terdekat.

(3)       Direktur Jenderal Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Pengawasan Ketenagakerjaan menetapkan besarnya jumlah THR, setelah mempertimbangkan hasil pemeriksaaan keuangan perusahaan.

Pasal 8

(1)       Bagi pengusaha yang melanggar ketentuan pasal 2 ayat (1) dan pasal 4 ayat (2), diancam dengan hukuman sesuai dengan ketentuan pasal 17 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1969 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok mengenai Tenaga Kerja.

(2)       Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah pelanggaran.

Pasal 9

(1)       Pengawasan untuk ditaatinya peraturan ini dilakukan oleh Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan.

(1)       Selain Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, juga kepada Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan yang diberi wewenang khusus sebagai Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3209) untuk melakukan penyidikan tindak pidana pelanggaran dalam peraturan ini.
 
Pasal 10

Dengan ditetapkan Peraturan Menteri ini, maka Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor 16 Tahun 1968 tentang Tunjangan Hari Raya bagi buruh Perusahaan Swasta dinyatakan tidak berlaku lagi.

Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 16 September 1994

MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA,


ttd


ABDUL LATIEF