KEPUTUSAN
MENTERI TENAGA KERJA
NO. KEP.15A/MEN/1994
TENTANG
PETUNJUK PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DAN PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA DI TINGKAT PERUSAHAAN DAN PEMERANTARAAN
MENTERI TENAGA KERJA
Menimbang:
a. Bahwa sesuai dengan Hubungan
Industrial Pancasila perselisihan antara Pengusaha dan Pekerja
diselesaikan dengan musyawarah secara kekeluargaan sehingga perselisihan
tersebut tidak merusak hubungan baik antara pekerja dengan pengusaha.
b. Bahwa Pemutusan Hubungan Kerja
oleh Pengusaha terhadap pekerjanya merupakan hal yang sedang mungkin
dihindari, namun demikian apabila terpaksa terjadi Pemutusan Hubungan
Kerja maka diselesaikan secara baik.
c. Bahwa petunjuk penyelesaian
perselisihan hubungan industrial dan pemutusan hubungan kerja
sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja No.
Kep.342/Men/1986, No. Kep. 1108/Men/1986, dan No. Kep 120/Men/1988,
sudah tidak sesuai dengan kebutuhan sehingga perlu disempurnakan.
d. Bahwa untuk itu perlu ditetapkan dengan Keputusan Menteri.
Mengingat:
1. Undang-Undang No. 3 Tahun 1951
tentang Pernyataan berlakunya Undang-Undang Pengawasan Perburuhan Tahun
1948 Nomor 23 dari Republik Indonesia untuk seluruh Indonesia untuk
seluruh Indonesia.
2. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1957
tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan (Lembaran Negara Tahun
1957 No. 42, Tambahan Lembaran No. 1227);
3. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1964
tentang Pemutusan Hubungan Kerja di Perusahaan Swasta (Lembaran Negara
Tahun 1964 No. 93, Tambahan Lembaran No. 2686);
4. Keputusan Presiden R.I No. 104
tahun 1993 tentang perubahan atas Keputusan Presiden No. 15 tahun 1984
tentang Susunan Organisasi Departemen sebagaimana telah Dua puluh kali
diubah terakhir dengan Keputusan Presiden No. 83 tahun 1993;
5. Keputusan Presiden R.I No. 96/M tahun 1993 tentang PembentukanKabinet Pembangunan VI;
6. Peraturan Menteri Tenaga Kerja
No. Per.02/Men/1985 tentang Syarat Penunjukan Tugas , Kedudukan
dan Wewenang Pegawai Perantara;
7. Peraturan Menteri Tenaga Kerja
No. Per.04/Men/1985 tentang Tata Cara Pemutusan Hubungan Kerja dan
Penetapan Uang Pesangon Uang Jasa dan Ganti Kerugian;
8. Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. Per.297/Men/1985 tentang Pedoman
Kerja Pegawai Perantara.
MEMUTUSKAN
MEMUTUSKAN
Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI TENAGA
KERJA PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DAN PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA DI
TINGKAT PERUSAHAAN DAN PEMERANTARAAN.
BAB I
KETENTUAN UMUM
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Keputusan ini yang dimaksud dengan :
(1) Pegawai Perantara ialah Pegawai sebagaimana dimaksud dalam Penyelesaian Perselisihan Perburuhan;
(2) Perselisihan Hubungan Industrial
ialah perselisihan perburuhan sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 ayat
(1) huruf c Undang-Undang No. 22 tahun 1957 tentang Penyelesaian
Perselisihan Perburuhan;
(3) Pekerja ialah tenaga kerja yang bekerja pada pengusaha dengan menerima upah.
(4) Pengusaha adalah :
1. Orang, Persekutuan atau Badan Hukum yang menjalankan suatu perusahaan milik sendiri;
2. Orang, Persekutuan atau Badan Hukum yang secara berdiri sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya;
3. orang, Persekutuan atau Badan
Hukum yang berada di Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud
pada angka 1 dan angka 2, yang berkedudukan di luar Indonesia.
4. Panitia Daerah ialah Panitia
Penyelesaian Perselisihan Perburuan Daerah sebagaimana dimaksud dalam
pasal 1 ayat (1) huruf f Undang-Undang No. 22 tahun 1957;
5. Panitia Pusat ialah Panita
Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat sebagaimana dimaksud dalam
pasal 1 ayat (1) huruf g Undang-Undang no. 22 tahun 1957;
6. Panitia Tenaga Kerja ialah suatu
Panitia yang dibentuk oleh Departemen Tenaga Kerja dan Departemen teknis
yang bertugas dan berwenang untuk menyelesaiakan masalah
ketenagakerjaan yang terjadi di perusahaan dari satu sektor usaha
tertentu.
Pasal 2
Peyelesaian Perselisihan Hubungan
Industrial dan Pemutusan Hubungan Kerja diselesaiakan secara bertahap,
mulai dari tingkat Perusahaan atau Bipartit, tingkat Pemerantaraan,
tingkat Panitia Daerah dan tingkat Panitia Pusat.
BAB II
PROSEDUR PENYELESAIAN PERSELISIHAN
HUBUNGAN IDUSTRIAL DAN PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA
HUBUNGAN IDUSTRIAL DAN PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA
Bagian pertama
Tingkat Perusahaan
Tingkat Perusahaan
Pasal 3
Penyelesaian Keluh Kesah sebelum menjadi perselisihan hubungan industrial dan pemutusan hubungan kerja:
a. Dilakukan di tingkat
perusahaan secara Bipartit dengan prinsip musyawarah untuk mufakat oleh
pekerja itu sendiri atau melalui atasannya dengan pengusaha;
b. Penyelesaian keluh
kesah sebagaimana dimaksud dalam huruf a, dapat dilakukan melalui
pengurus Pekerja yang terdaftar di Departemen Tenaga Kerja atau
organisasi pekerja lainnya.
Pengusaha dan Pekerja wajib mengupayakan
agar keluh kesah yang timbul tidak menjadi perselisihan hubungan
industrial atau menjadi pemutusan hubungan kerja.
Pasal 4
Dalam hal keluh kesah meningkat menjadi perselisihan hubungan industrial maka penyelesaiannya dilakukan :
1. Melalui perundingan secara
musyawarah untuk mufakat antara Serikat Pekerja atau gabungan Serikat
Pekerja yang terdaftar di Departemen Tenaga kerja atau organisasi
pekerja lainnya dengan pengusaha atau gabungan pengusaha;
2. Setiap perundingan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, sebanyak-banyak 3 (tiga) kali dalam jangka waktu
paling lama 1 (satu) bulan dan setiap perundingan dibuat risalah yang
disampaikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan;
3. Risalah perundingan sebagaimana dimaksud dalam huruf b memuat antara lain :
1. Nama dan alamat pekerja
2. Nama dan alamat Serikat Pekerja atau organisasi pekerja lainnya.
3. Nama dan alamat perundingan
4. Alasan atau pokok masalah perselisihan
5. Pendirian para pihak
6. Kesimpulan perundingan
7. Tanggal dan tanda tangan pihak yang melakukan perundingan
8. Apabila perundingan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a tercapai kesepakatan penyelesaian, maka dibuat
persetujuan bersama secara tertulis yang ditandatangani oleh para pihak
dan disaksikan oleh Pengurus Serikat Pekerja setempat pada Perusahaan
yang telah terbentuk Serikat Pekerja atau organisasi pekerja lainnya
serta disampaikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan.
9. Apabila perundingan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a tidak tercapai kesepakatan penyelesaian, maka
kedua belah pihak dapat menyelesaiakan melalui Arbitrase.
10. Dalam hal kedua belah pihak
menghendaki penyelesaian sebagaimana dimaksud dalam huruf e, maka salah
satu pihak atau kedua belah pihak meminta kepada Kantor departemen
Tenaga kerja setempat dengan tembusan kepada Panitia Daerah disertai
bukti-bukti perundingan untuk diselesaikan melalui pemerantaraan.
Pasal 5
Dalam hal keluh kesah sebagaimana
dimaksud dalam pasal 3 berkembang menjurus kepada pemutusan hubungan
kerja maka penyelesaiannya sebagai berikut :
a. Penyelesaian harus dirundingkan
secara musyawarah untuk mufakat antara pengusaha dengan pekerja itu
sendiri atau dengan Serikat Pekerja yang terdaftar di departemen Tenaga
Kejra atau organisasi pekerja lainnya apabila pekerja tersebut menjadi
anggota;
b. Setiap perundingan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a dilakukan sebanyak-banyaknya 3 (tiga) kali dalam
jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan, dan setiap perundingan dibuat
risalah yang disampaikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan;
c. Risalah perundingan sebagaimana dimaksud dalam huruf b memuat antara lain :
1. Nama dan alamat
2. Nama dan alamat Serikat Pekerja atau organisasi pekerja lainnya
3. Nama dan alamat pengusaha atau yang diwakili
4. Tanggal dan tempat perundingan
5. Pokok masalah atau alasan Pemutusan Hubungan Kerja
6. Pendirian para pihak
7. Kesimpulan perundingan
8. Tanggal dan tanda tangan pihak-pihak yang melakukan perundingan.
d. Apabila perundingan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a mencapai kesepakatan, maka dibuat persetujuan
bersama secara tertulis yang ditandatangani oleh para pihak dan
disamakan oleh Pengurus Serikat Pekerja atau organisasi pekerja lainnya
serta disampaikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan;
e. Apabila perundingan sebagaimana
dimaksud huruf a, tidak mencapai kesepakatan, maka sebelum pengusaha
mengajukan permohonan ijijn pemutusan hubungan kerja kepada Panitia
Daerah, untuk pemutusan hubungan kerja perorangan atau Panitia Pusat
untuk pemutusan kerja massal, kedua belah pihak atau salah satu pihak
dapat mengajukan permintaan kepada Kantor Departemen Tenaga kerja
setempat untuk diperantarai oleh Pegawai Perantara;
f. Hasil perundingan baik yang
telah tercapai perseyujuan bersama maupun tidak harus dilampirkan pada
setiap pengajuan permohonan ijij pemutusan hubngan kerja oleh pengusaha.
Pasal 6
Dalam hal timbul keluh kesah,
penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial dan Pemutusan Hubungan
Kerja, pengusaha sedapat mungkin menghindarkan terjadinya penutupan
perusahaan (lock out) dan pekerja sedapat mungkin menghindari terjadinya
mogok/unjuk rasa atau slow down.
Pasal 7
Dalam hal terjadinya Perselisihan
Hubungan Industrial diluar ketentuan Peraturan perundang-undangan
Ketenagakerjaan, penyelesaiannya dilakukan secara terpadu dengan
instansi terkait sesuai dengan tugas dan fungsi masingmasing.
Bagian Kedua
Tingkat Perantaraan
Tingkat Perantaraan
Pasal 8
Penyelesaian tingkat perantaraan :
a. Pegawai Perantara harus menerima
setiap permintaan penyelesaian perselisihan hubungan industrial dan
pemutusan hubungan kerja;
b. Pegawai Perantara setelah
menerima permintaan penyelesaian perselisihan hubungan industrial
sebagaimana dimaksud dalam huruf a harus menawarkan kepada kedua belah
pihak apakah perselisihan hubungan industrial tersebut akan
diselesaiakan melalui Arbitrase;
c. Dalam hal kedua belah pihak tidak
menghendaki penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui
Arbitrase, Pegawai Peranatara dalam waktu selambat-lambatnya 7 hari
harus sudah mengadakan pemerantaraan menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku, termasuk mengadakan penelitian dan
usaha penyelesaian maslah-masalah yang sifatnya normative melalui
Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan;
d. Tenggang waktu sebagaimana
dimaksud dalam huruf c, berlaku juga bagi perantaraan penyelesaian
perselisihan hubungan industrial dan pemutusan hubungan kerja;
e. Pegawai Perantara dalam
melaksanakan pemerantaraan Perselisihan Hubungan Industrial atau
Pemutusan Hubungan Kerja harus mengupayakan penyelesaian melalui
perundingan secara musyawarah untuk mufakat;
f. Dalam hal perantara sebagaimana
dimaksud dalam huruf e tercapai kesepakatan penyelesaian, maka dibuat
persetujuan bersama secara tertulis yang ditandatangani oleh para pihak
dan diketahui/disaksikan oleh Pegawai Perantara.
g. Pegawai Perantara setelah
menerima persetujuan bersama Peselisihan Hubungan Industrial atau
Pemutusan Hubungan Kerja yang dicapai di tingkat perusahaan, dalam waktu
selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari harus sudah meneruskan kepada Panitia
Daerah untuk Perselisihan Hubungan Industrial atau Pemutusah Hubungan
Kerja perorangan dan kepada Panitia Pusat untuk Pemutusan Hubungan Kerja
massal;
h. Dalam hal pemerantaraan
sebagaimana dimaksud dalam huruf e tidak tercapai kesepakatan
penyelesaian, Pegawai Perantara harus membuat anjuran secara tertulis
yang memuat usul penyelesaian dengan menyebutkan dasar pertimbangannya
dan menyampaikan kepada para pihak serta mengupayakan tanggapan para
pihak dalam waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari sejak diterimanya
anjuran dimaksud;
i. Apabila kedua belah pihak
menerima anjuran sebagimana dimaksud huruf h maka dibuat Persetujuan
Bersama secara tertulis diselesaiakan seperti tersebut dalam huruf g;
j. Dalam hal anjuran tidak diterima
oleh para pihak/salah satu pihak, maka pegawai perantara membuat
Laporan Pemerantaraan Bentuk II secara lengkap, sehingga memberikan
ikhtisar yang jelas mengenai penyelesaian perkara.
k. Laporan sebagaimana ddimaksud
dalam huruf j beserta tanggapan para pihak/salah satu pihak disampaikan
kepada Panitia Daerah untuk perselisihan hubungan industrial atau kepada
Panitia Pusat untuk pemutusan hubungan kerja massal dengan tembusan
kepada Kantor Wilayah Departemen Tenaga Kerja setempat.
l. Dalam hal Perantaraan
Perselisihan terdapat tuntutan yang bersifat normatif antara lain upah
lembur, tunjangan kecelakaan dan cuti tahunan, maka Pegawai Perantara
meminta bantuan kepada Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan Kantor
Departemen Tenaga kerja setempat untuk menetapkan dan menghitung upah
lembur tersebut;
m. Dalam hal penetapan upah lembur,
Pegawai Ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud dalam huruf l merupakan
satu kesatuan dengan masalah Pemutusan Hubungan Kerja, maka Pegawai
Perantara meneruskan kepada Panitia Daerah atau Panitia Pusat untuk
penyelesaian lebih lanjut.
Pasal 9
Penyelesaian di tingkat pemerantaraan
sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 harus sudah selesai dalam waktu
selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari.
Pasal 10
(1) Dalam hal Pegawai Perantara
menerima pengaduan berhubungan dengan masalah ketenagakerjaan pada Badan
Usaha Milik negara (BUMN)/Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). maka Pegawai
Perantara dapat memberikan jasa-jasa baik.
(2) Dalam penyelesaian pengadaan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tercapai kesepakatan penyelesaian
maka Pegawai Perantara membuat Persetujuan Bersama secara tertulis dan
apabila tidak tercapai kesepakatan penyelesaian dibuatkan anjuran secara
tertulis.
(3) Apabila anjuran Pegawai
Perantara sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak diterima, maka
Pegawai Perantara meneruskan Permasalahannya kepada Korpri BUMN/BUMD
yang bersangkutan untuk penyelesaian lebih alnjut.
(4) Dalam Penyelesaian pengaduan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) Pegawai Perantara dapat mengadakan
koordinasi dan konsultasi dengan instansi tehnis, Pemerintah Daerah dan
Korpri.
(5) Untuk sektor pada BUMN yang
sudah apa Panitia Tenaga Kerja, maka Pegawai Perantara m,enyerahkan
penyelesaiannya kepada Panitia Tenaga Kerja yang bersangkutan.
Pasal 11
(1) Apabila Pegawai Perantara
mengetahui terjadinya penutupan perusahaan (lock out), pemogokan dan
atau slow down Pegawai Perantara langsung mendatangi lokasi kejadian.
(2) Dalam menangani kejadian
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) Pegawai Perantara mengupayakan dan
menganjurkan kepada para pekerja agar bekerja kembali seperti semula dan
menganjurkan pengusaha agar meneruskan kegiatnnya.
(3) Pegawai Perantara segera
melakukan perundingan dengan para pihak untuk menyelesaikan masalah
ketenagakerjaanyang menyebabkan terjadinya penutupan perusahaan (lock
out), pemogokan dan atau slow down.
(4) Dalam hal perundingan dimaksud
dalam ayat (3) tercapai kesepakatan penyelesaian, maka dibuat
Persetujuan Bersama secara tertulis yang ditandatangani oleh kedua belah
pihak yang diketahui/disaksikan oleh Pegawai Perantara
(5) Dalam hal perundingan dimaksud
dalam ayat (3) tidak tercapai kesepakatan penyelesaian, maka pegawai
perantara manyarahkan kepada Panitia Daerah mengenai masalah
Perselisihan serta kepada Panitia Pusat mengenai Pemutusan Hubungan
Kerja massal untuk penyelesaian lebih lanjut.
BAB III
KETENTUAN PENUTUP
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 12
(1) Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan mengawasi pelaksanaan Keputusan Menteri ini sesuai dengan tugas dan fungsinya.
(2) Dalam hal Pegawai Pengawas
mengetahui adanya gejala akan terjadi Perselisihan Hubungan Industrial
wajib segeramengambil langkah-langkah sesuai dengan kewenangannya dan
melaporkan kepada atasannya.
Pasal 13
Dengan ditetapkannya Keputusan Menteri
ini, maka Keputusan Tenaga Kerja No.Kep. 342/Men/1986 tentang
Pedoman/Petunjuk Umum Pemerantaraan Perselisihan Hubungan Industrial
khususnya dalam menghadapi kasus-kasus mengenai upah lembur, pemogokan,
pekerja kontrak, pemutusan hubungan kerja dan perubahan status atau
pemilikan perusahaan, No. Kep. 1108/Men/1986 tentang Pedoman Pelaksanaan
Penyelesaian Perselisihan Industrial dan Pemutusan Hubungan Kerja dan
No. Kep. 120/men/1988 tentang pedoman Penuntun Perilaku (Code of
Conduct) dalam pencegahan dan penyelesaian perselisihan industrial
dinyatakan tidak berlaku lagi.
Pasal 14
Keputusan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal : 4-1-1993
MENTERI TENAGA KERJA R.I
ttd
Drs. ABDUL LATIEF
Tidak ada komentar:
Posting Komentar